DAUN TERAKHIR POHON DECIDUOUS : "Pengorbanan"
DAUN
TERAKHIR POHON DECIDUOUS
Musim panas hampir berakhir, kini semua orang
tengah menyambut datangnya musim gugur dan bersiap-siap merayakan Natal bersama
keluarga. Tetapi tidak dengan Carolina Anastasya,
dia tidak ada waktu untuk bersenang-senang karena dia harus menjaga adiknya
yang sedang sakit di rumah sakit. Hidupnya begitu susah setelah ditinggal kedua
orang tuanya. Hidupnya berubah 1800. Dulu dia mempunyai orang tua
yang sangat menyayanginya sampai akhirnya dia harus kehilangan kedua orang tuanya
saat kecelakaan maut merenggut nyawa kedua orang tuanya.
Belum usai kesedihan yang dirasakannya, kini
dia harus menanggung beban yang lain, dia harus membiayai adiknya yang sedang
sakit, sedangkan dia hanya bekerja sebagai pembantu rumah tangga di salah satu
rumah elit di blok M. Memang dia sangat beruntung, walaupun umurnya masih 15
tahun tapi dia mampu melewati semua ujian ini dengan sabar. Majikannya sangat
baik kepadanya, kecuali anak majikannya, si sombong Alex Robbinson. Dia adalah
laki-laki yang sangat sombong dan sok berkuasa, yah, gara-gara kekayaan orang
tuanya. Terkadang Caroline dijahilinya sampai-sampai Caroline menangis.
Sebenarnya Caroline sudah tidak kuat lagi bekerja di rumah majikannya itu,
walaupun majikanya baik, tapi anaknya berbeda jauh, kadang-kadang Caroline
berfikir apa benar itu anak majikanya? atau jangan-jangan cuma nemu di tong
sampah?
v
Pagi-pagi sekali Caroline sudah bangun dan
segera menuju dapur untuk menyiapkan sarapan untuk majikannya. Setelah selesai
sarapan, Caroline masih harus mengepel lantai dan membersihkan jendela.
"Heh anak tolol, ngapai loe
disini?" bentak Alex kepada Caroline karena Caroline sedang mengepel
lantai di depan tangga dan menutupi jalan Alex.
"Maaf, sebentar lagi, tuan!" jawab
Caroline dengan menundukkan kepalanya, bukanya dia takut pada majikan
sombongnya tetapi dia hanya tak mau mencari keributan, dia tak punya banyak
waktu karena setelah semua pekerjaannya selesai, dia harus segera ke rumah
sakit menjenguk adiknya, Caca Anastasya.
"Cepat minggir!" teriak Alex.
"Baik tuan!" jawab Caroline dan
segera menyingkir.
"Dasar pembantu tak tahu diri!" oceh
si sombong Alex.
Mungkin karena kesal, Alex langsung menjambak rambut Caroline dan
menyeretnya ke gudang.
"Ampun tuan, ampun, ampuni saya tuan,
saya mohon!" teriak Caroline sambil menangis dan menahan sakitnya jambakan
Alex.
"Tidak bisa, kau harus diberi pelajaran,
dasar pembantu tak tahu diri, sudah untung bisa bekerja disini, masih nglunjak
juga!" teriak Alex dan masih tetap menyeret Caroline dengan tak manusiawi.
"Brakk,,,," Alex mendobrak pintu gudang dengan kasarnya dan mendorong
masuk Caroline.
"Kau, kau harus diberi pelajaran, kau
harus masuk gudang sampai aku pulang!" ucap Alex. Alex pun mengunci
pintunya dan membiarkan Caroline berada di gudang yang penuh debu dan
berantakan.
"Tuan, tolong tuan! Bukakan pintunya
tuan! Tolong, saya harus pergi tuan, tolong maafkan saya tuan! Tuan!" teriak
Caroline dari dalam dan menggedor-gedor pintu gudang.
Percuma saja yang dilakukan Caroline karena
majikannya yang sombong itu telah pergi ke sekolahnya dan berita bagusnya, si
sombong Alex tak akan pulang sebelum pukul 10 malam, itu sudah menjadi
kebiasaan buruknya, dugem bersama teman-teman sampai larut malam dan
minum-minum sampai mabuk. Walaupun Alex masih duduk di bangku SMA kelas 3, tapi
orang tuanya tak bisa berbuat apa-apa untuk melarangnya berhenti minum minuman
keras. Sudah berkali-kali ia diingatkan oleh papa dan mamanya, tetapi tetap
sama saja. Orang tuanya sudah capek mengingatkannya.
v
Sudah berjam-jam Caroline berada di dalam
gudang, dia terus menangis, bukan karena takut akan gelapnya gudang, tetapi dia
takut kalau adiknya, Caca Anastasya mencarinya, dia takut terjadi sesuatu pada
adik tercintanya itu. Adiknya menderita sirosis sejak umurnya 5 tahun dan
sekarang umurnya sudah 8 tahun. Dia tak tega melihat adiknya menderita. Jika
bisa, dia mau menukar tempat dengan adiknya itu, biar dia yang merasakan
sakitnya penyakit itu menggerogoti tubuhnya
Di rumah sakit, Caca sering mengigau
memanggil nama kakaknya. Dia sangat membutuhkan kakaknya sekarang. Sedangkan
kakaknya, dia sedang mencari cara untuk keluar dari gudang itu. Mata Caroline
menyoroti setiap sudut ruangan hingga pandangannya berhenti pada jendela yang
terletak agak tinggi dari tanah. Dengan segera, Caroline berusaha menggapai
jendela itu, tapi usahanya gagal. Walaupun gagal, dia tidak menyerah. Dicarinya
sesuatu yang dapat membantunya. Pandanganya kembali beredar dan dia melihat
sesuatu yang dapat membantunya. Diambilnya sebuah kursi dan diletakkan dibawah
jendela, dengan segera Caroline memanjat dan dia berhasil keatas jendela. Tanpa
pikir panjang, Caroline langsung melompat dan berlari meskipun kakinya terasa
sakit karena ia tak memakai alas kaki apapun.
Dengan langkah terseok-seok, Caroline tetap
berusaha menuju ke rumah sakit. Dia terpaksa jalan kaki karena dia tidak bisa
mengambil uang di dalam kamarnya. Walaupun bisa dikatakan jarak rumah
majikannya dengan rumah sakit sangatlah jauh, namun rasa sayang yang teramat
besar mampu menjadikan jarak itu hanya bagai sebuah lidi yang menghalangi
jalannya. Karena tak ingin membuat adiknya terlalu lama menunggu, Caroline
memilih untuk berlari. Keringat mengucur dengan derasnya, keringat pengorbanan
seorang kakak untuk adiknya, keringat yang tak akan bisa digantikan oleh apapun
di dunia ini, keringat seorang pahlawan kecil yang mampu menjadi tauladan bagi
kita, contoh bagi kita, inilah hidup, perlu pengorbanan. Jangan sekali-kali
kamu meremehkan keringat, jangan kamu memandang keringat sebelah mata,
pandanglah pengorbanan besar yang mampu membuat keringat itu lebih berharga
dari segalannya.
Akhirnya Caroline sampai di rumah sakit dan
segera menuju ke ruangan adiknya. Untunglah adiknya tak kenapa-kenapa.
"Huh,,, untunglah tak terjadi apa-apa,
terimakasih Tuhan!" ucap Caroline menghela nafas lega.
Caroline berjalan menuju kursi dekat tempat
tidur adiknya, dibelainya rambut adiknya itu. Tak terasa Caroline meneteskan
air matanya, tak tahu lagi apa yang harus dilakukanya demi kesembuhan adik
tercintanya itu. Hutang di rumah sakit semakin menumpuk, sedangkan gajinya
hanya pas-pasan, tak mungkin dia meminjam uang majkannya, dia tak mau merepotkan
majikanya karena mereka sudah baik hati kepada Caroline.
"Ya Tuhan, apa yang harus aku lakukan?
tolong sembuhkan adikku ya Tuhan, aku tak mau melihatnya menderita seperti ini.
Tuhan, aku tahu kalau suatu saat kau juga akan mengambil nyawaku, aku takut
jika kau megambil nyawaku sebelum adikku sembuh dan dapat bermain lagi seperti
dulu. Tuhan, jika memang engkau sayang kepada umatmu, tolong bantu hamba ya
Tuhan, aku mohon!" doa Caroline kepada Tuhannya.
Semua cobaan ini membuat dirinya semakin lemah,
kulitnya yang putih nampak pucat dan kering, matanya yang sembab menunjukkan
dirinya sering menangis, tulang-tulang yang dapat menopang tubuhnya kelihatan
sekali, karena dia jarang makan, tubuhnya mulai kurus menahan beban yang amat
banyak.
"kakak, kenapa kakak menangis? kakak
sudah janji nggak akan menangis kan, kak?" ucap Caca dan menghapus air
mata kakaknya dengan kasih sayang tulus dari seorang adik.
"Maafin kakak dek, kakak nggak bisa
nepatin janji kakak!"
"Tidak apa-apa kak, maafin aku ya kak uda
buat kakak sedih!" ucap Caca dan mulai meneteskan air mata.
"Adek jangan gitu, jangan nangis lagi,
kakak nggak mau liat adek nangis, kakak tambah sedih kalau adek nangis, adek
harus janji adek harus sembuh demi kakak, oke?" ucap Caroline dengan
senyum mengembang di bibirnya untuk meyakinkan adiknya itu.
"Iya kak, aku janji!" jawab caca
dan membalas senyuman kakaknya.
Sungguh hebat mereka berdua. Jika sedang
berdua, masalah apapun yang sedang menimpa dapat dilupakan, senyum mengembang
di bibir mereka, tawa canda kakak adik yang patut di acungi jempol, jarang di
masa sekarang kakak adik bisa akur seperti itu, saling memberi satu sama lain
dalam kesusahan seperti ini.
tok,,tok,,tok,, seseorang mengetuk pintu
ruangan Caca, menghentikan canda tawa mereka berdua.
"Maaf, sudah saatnya pasien makan siang,
ini makananya saya taruh di atas meja!" ucap suster rumah sakit itu dan
meletakkan semangkuk bubur di atas meja.
"terimakasih sus!" ucap Caroline.
"Sama-sama, saya permisi dulu!" ucap
suster itu dan segera menghilang menuju ke kamar lain mengantarkan makan siang
pasien.
"Sekarang kau harus makan biar cepat
sembuh!" ucap Caroline dan mengambil bubur itu.
"Suapin!" ucap Caca dengan manja.
"Baiklah adikku yang manja!" jawab
Caroline dengan senyum mengembang di bibirnya. Dengan segera Caroline menyuapi
adiknya dengan penuh kasih sayang.
Setelah selesai menyuapi adiknya, Caroline
berpamitan kepada adiknya karena ia harus segera ke rumah majikannya untuk
memasak dan menyiapkan keperluan majikannya itu.
"Sayang, kakak pulang dulu yah, jaga
dirimu baik-baik, maafin kakak nggak bisa nemenin kamu terus!" ucap
Caroline seraya membelai lembut rambut adiknya Caca.
"Iya kak, aku bisa ngerti, maafin aku
juga ya kak uda ngerepotin kakak.!" jawab Caca dengan penuh penyesalan.
"Sssttt,, jangan bicara seperti itu,
kamu nggak ngerepotin kakak kok,, yaudah, kakak pulang dulu yah!" kata
Caroline lalu mencium lembut kening adiknya itu.
"Iya, kak!" jawab Caca.
Setelah berpamitan kepada adiknya, Caroline
bergegas pulang menuju rumah majikannya. Lagi-lagi dia harus jalan kaki karena
dia tak membawa uang sepeserpun. Kelelahan mendera bocah 15 tahun ini, tapi
baginya dia tak apa seperti ini, toh ini bukanlah hal sulit baginya.
Sesampainya di rumah majikannya, ia
dikejutkan oleh si sombong Alex yang sedang duduk di teras rumah.
"Heh kau, pembantu sialan! Dari mana
saja kau? Bagaimana kau bisa keluar, huh?" tanya Alex dengan garangnya.
Walaupun begitu, Alex masih belum beranjak dari duduknya. Kalau dilihat-lihat Alex
itu memang ganteng, tapi sayang hatinya tak seindah parasnya.
"E...ii.....itu...anu...!" Caroline
tak dapat menjawab pertanyaan Alex. Lidahnya terasa kelu karena dikagetkan oleh
sosok Alex yang tiba-tiba muncul, padahal biasanya pulang malam.
"Tak usah a...ee..a...ee.. Sekarang
juga, kau aku hukum!" bentak Alex seraya bangkit dari duduknya dan
menghampiri Caroline yang masih berdiri tegak di depan pagar rumah yang
menjulang tinggi tak menutupi kemegahan rumah majikannya itu.
"Ikut aku!" bentak Alex dan menyeret paksa Caroline.
"Ampun tuan maafkan saya!" mohon
Caroline dan berusaha melepaskan genggaman si sombong Alex yang sangat kuat di
tangannya.
"Diam kau,,,!" bentak Alex dan
tetap menyeret tubuh Caroline.
"Tuan saya mohon maafkan saya, saya
harus menemani adik saya di rumah sakit tuan! Saya mohon ampuni saya!" mohon
Caroline dengan nada bergetar menahan jatuhnya air mata. Dia tahu dia kuat,
tapi terkadang keadaan yang memaksanya menjadi lemah.
"Alah alasan, bilang saja kau mau
mulung, iya kan? hahaha, dasar pembantu bodoh!" tawa Alex dan semakin meneyeret
paksa Caroline.
Didorongnya tubuh Caroline hingga ia
tersungkur di depan Alex. Dengan segera, Alex mengambil botol besar berisi
minyak goreng penuh. Dibukanya tutup botol itu, perlahan dituangkanya minyak
goreng itu ke kepala Caroline.
"Ha,,ha,,,ha,, rasakan itu, dasar
pembantu bodoh!" tawa Alex tanpa merasa bersalah sedikit pun.
Caroline hanya bisa pasrah menerima semua
itu, semua ini dilakukannya demi adik tercintanya. Miris memang, melihat semua
itu. Caroline sempat berfikir betapa tidak adilnya hidup ini. Semua orang yang
dilihatnya selalu tersenyum bahagia setiap harinya. Pergi bersenang-senang
dengan keluarga mereka. Picnic, memancing bersama, hang out bersama.
Caroline hanya bisa membiarkan Alex
menyiksanya. Air mata Caroline perlahan lahan mulai turun dan membasahi
pipinya, mengalir berdampingan dengan minyak di pipinya. Tak bisakah
orang-orang hidup seperti air mata dan minyak di pipi Caroline? Walaupun mereka
berbeda, tapi mereka mau berjalan berdampingan, walaupun mereka tak bisa
bersatu, tapi mereka dapat menuju ke satu kesatuan. Bisakah itu terjadi? Tentu
bisa. Yang kita butuhkan hanya seorang pahlawan kecil seperti Caroline. Tak
perduli dengan keadaanya sekarang, tak pernah menyerah menghadapi gelombang
hidup yang pasang surut, tak pernah lelah memohon kepada sang Kuasa. Walaupun
hidupnya susah, dia mampu melaluinya, betapa hebat anak itu.
"Ayolah Caroline, kemana dirimu yang
sebenarnya? Kenapa kau hanya diam menerima perlakuan majikanmu yang sombong
ini? Caroline, kau ini kuat, demi adikmu Caroline!" ucap Caroline dalam
hati, berusaha bangkit dan melawan penjahat si Alex.
Caroline mengepalkan tanganya dan mulai
mengumpulkan kekuatannya, keberanianya untuk melawan Alex. Ditepisnya tangan Alex
yang masih memegang botol minyak goreng hingga botol yang dipegang Alex
terlempar jauh menghasilkan suara pemecah keheningan diantara keduanya. Hanya
suara nafas Caroline menahan turunya air mata lebih lanjut.
Alex hanya diam terpaku melihat sosok Carline
yang berubah 1800 tidak seperti biasanya.
"Kau,,,!" ucap Caroline, "Kau,,
kuperingatkan kau, aku ini bukan budakmu, aku ini memang lemah, bodoh, tolol.
Tapi aku tak seperti kau, busuk. Memang aku tak kaya sepertimu. Tapi aku tak
serendah dirimu. Jika bukan karena adikku, sudah ku bunuh kau!" lanjut
Caroline dengan garangnya.
Alex yang mendapat ancaman itu hanya bisa
diam menatap dalam mata Caroline. Mata Caroline yang memancarkan ketulusan,
belum pernah Alex melihat mata yang seperti itu, tak pernah ia melihat
keteduhan hati seperti ini sebelumnya, tak pernah ia mendapatkan pengorbanan
seperti yang dilakukan Caroline terhadap adiknya. Dia hanya ingin menemukan seseorang
yang perduli terhadapnya, berkorban besar untuknya. Tapi ia tak pernah
menemukannya, hingga ia frustasi dan berbuat seperti ini, dia tak percaya lagi
dengan orang-orang disekitarnya, kenapa aku perduli? mereka saja tidak perduli
terhadapku! Uacpnya selalu kepada dirinya sendiri
"Kau yang bodoh!" teriak Alex
memecah keheningan sesaat diantara mereka berdua. "Kau bodoh, adikmu itu
sebentar lagi mati. Buat apa kau berkorban seperti ini? Itu tak akan ada
gunanya lagi, percuma,, dasar bodoh!" lanjut Alex dengan nada naik satu
oktaf.
"Kau tak mengerti, kau tak akan mengerti
sampai kapan pun. Memang benar umur dia sudah tak lama lagi, tapi aku tak akan
pernah membiarkannya mati dalam kesedihan. Aku tahu dia anak yang kuat, tak
seperti kau PENGECUT!" teriak Caroline dengan menekan kata PENGECUT.
"plaakk,,,," sebuah tamparan keras
mengenai pipi kiri Caroline. Seperti mendapat ciuman dari sebuah plat baja di
pipinya. Sakit, itu yang dirasakannya. Air matanya semakin deras membanjiri
pipinya. Pipi kirinya perlahan berubah menjadi merah.
Caroline menatap tajam mata Alex sambil masih
memegangi pipi kirinya. Caroline melihat genangan air mata di sudut mata Alex,
air mata itu kini mulai turun membasahi pipi Alex. Caroline tak menyangka
dengan apa yang dilihatnya kini. "Seorang Alex yang keras kepala dan sombong
itu menangis?" Sungguh aneh memang, tapi itu benar-benar terjadi.
Sesungguhnya jika pria menangis bukan berarti dia lemah, tapi karena hatinya
sungguh terluka, luka yang amat sangat dalam.
"YA,, MEMANG AKU TAK PERNAH MENGERTI DAN
AKU TAK AKAN PERNAH MERASAKANNYA, KARENA TAK ADA YANG BERBUAT SEPERTI ITU
KEPADAKU, PUAS KAU?" teriak Alex di depan muka Caroline dan pergi berlari
menaiki anak tangga menuju kamarnya dengan air mata yang mengalir deras di
pipinya.
Caroline yang melihat semua itu hanya bisa
diam terpaku dengan keadaan masih duduk di lantai dapur dengan semua saksi bisu
pertengkaran hebat Alex dan Caroline.
"Apa yang sudah dikatakan Alex? Apa? Ya
Tuhan, aku benar-benar tak menyangka semua ini terjadi, aku kira semua orang
kaya itu pasti bahagia, ternyata tidak, bahkan dia tak pernah merasakanya sama
sekali. Dan aku masih tidak menyangka jika dia bisa menangis seperti itu, pasti
sulit rasanya menahan semua itu sendiri. Apalagi dia itu cowok,, cowok tak akan
pernah menangis sebelum hatinya benar-benar terluka!" ucap Caroline dalam
hati mencoba meyakinkan diri sendiri tentang apa yang baru saja terjadi.
Tanpa pikir panjang dia langsung berlari
menyusul Alex menuju kamarnya. Dipijaknya satu persatu tangga menuju kamar
Alex. Sesampainya di depan kamar Alex, Caroline langsung membuka pintu kamar
Alex tanpa mengetuknya.
"Alex?" panggil Caroline.
"Mau apa kau?" jawab Alex dengan
ketus tanpa melihat kearah Caroline, dia hanya asyik dengan memandang keluar
jendela kamarnya.
"Aku hanya ingin meminta maaf karena aku
tadi sudah membentakmu!" jawab Caroline dengan nada menyesal.
"Perduli apa kau denganku?" tanya
Alex dengan ketus seraya memutar badanya melihat kearah Caroline.
"Semua orang perduli denganmu, jangan
bicara seperti itu!" jawab Caroline dengan santai.
"Ciih,, jangan ceramah di depanku
pembantu sialan, inget, kamu itu cuma pembantu, PEMBANTU!" ucap Alex
dengan menekan kata pembantu.
"Memang aku seorang pembantu, tapi
pekerjaanku ini sangat mulia, membantu orang yang kesusahan dalam mengerjakan
pekerjaan rumah tangga mereka, tapi ini semua demi adikku, jangan pernah kau
menghinanya lagi!" jawab Caroline dengan nada mengancam.
"Terserah,,!" ucap Alex dan kembali
mengarahkan pandangannya keluar jendela.
Tanpa banyak bicara, Caroline langsung pergi
dari kamar Alex menuju dapur dan membereskan semua kekacauan di dapur. Setelah
selesai membersihkannya, Caroline langsung pergi mandi dan mengerjakan apa yang
seharusnya dikerjakan oleh Caroline.
v
Malam ini begitu berbeda bagi Caroline. Dia
masih tidak percaya atas apa yang menimpanya tadi sore. Sema berlalu begitu
cepat dan membekas dalam di benak Caroline. Caroline masih tidak percaya jika
seorang Alex yang begitu kejamnya, begitu angkuhnya itu dapat menangis.
Caroline berfikir jika apa yang dirasakan Alex pasti sangat menyakitkan. Tapi
hingga saat ini dia tak pernah tau apa yang menyebabkan semua ini.
Jam sudah menunjukkan pukul 11 malam, tapi
Carolina tidak bisa tidur. Entah apa yang difikirkannya hingga membuatnya susah
tidur.
Caroline mengangkat tubuhnya dan duduk di
bibir tempat tidur, pikiranya entah kemana. Dilangkahkanya kedua kakinya menuju
ke kamar Alex. Entah apa yang difikirkan Caroline hingga ia memutuskan untuk
melihat keadaan Alex. Seampainya di depan pintu kamar Alex, Caroline mendengar
suara tangisan dari dalam kamar Alex.
"Apa jangan-jangan itu Alex yah?" tanya
Caroline pada dirinya sendiri.
Dirapatkanya telinga Caroline ke pintu untuk
memperjelas pendengarannya. “Praannkk,,,,” Terdengar suara yang mengagetkan
Caroline dari dalam. Tanpa pikir panjang, Caroline langsung masuk ke dalam
kamar Alex yang kebetulan tidak terkunci. Mata Caroline membulat melihat Alex
yang sedang berdiri dengan nafas tersengal-sengal dan kamarnya yang berantakan.
"AAA,,,, aku benci kalian, aku benci! lebih
baik aku mati!" Teriak Alex dan memberantakkan semua isi kamarnya dan
kemudian mengambil sebuah serpihan kaca. Dan diarahkannya serpihan kaca itu ke
urat nadinya.
"Apa yang kau lakukan Alex?" Tanya
Caroline dengan wajah khawatirnya.
“Stop jangan bergerak!” ucap Alex memperingatkan
Carolie agar tidak mendekat.
“Alex, jangan nekat, kau tidak bisa
melakukannya, Alex!” ucap Caroline berusaha membujuk Alex agar tidak melakukan
aksi nekatnya.
“Bullshit, kau pembantu sialan tak tahu
apa-apa!” teriak Alex. Semakin deras air mata di pipi Alex.
“Aku tahu Alex, aku tahu! Tapi jangan lakukan
itu Alex! Dengan kau bunuh diri tidak akan pernah bisa menyelesaikan masalah!”
Ucap Caroline meyakinkan Alex seraya melangkahkan kakinya secara perlahan
kearah Alex.
“Aku bilang jangan bergerak!” teriak Alex
“Ok, akan aku turuti kemauan mu, tapi aku
mohon jangan lakukan itu, Alex!” ucap Caroline dan menghentikan langkahnya
seperti kemauan Alex.
“Shut up,,,! Kau itu tak tahu apa-apa. Asal
kau tahu, taka ada yang menginginkanku di dunia ini, jadi buat apa aku hidup,
lebih baik aku mati!” teriak Alex.
“Siapa bilang tak ada yang menginginkanmu,
huh? Siapa yang tidak menginginkanmu, huh? Aku tanya, SIAPA?” tanya Caroline
dengan nada kencang.
“Semua,, semuanya. Tak ada yang
menginginkanku. Papa, Mama, dan juga termasuk kau! Aku benci dengan semua ini,
tak ada yang bisa mengerti aku!” teriaknya menjawab peranyaan Caroline.
Alex mulai menempelkan serpihan kaca itu di
tanganya berniat memotong urat nadinya. Dengan refleksnya, Caroline berlari
kearah Alex dan menghentikan semua yang akan dilakukan Alex. Entah apa yang
mendorong Caroline untuk berbuat seperti itu. Tak perduli siapa yang
ditolongnya, walaupun orang yang ditolongnya itu adalah orang yang selama ini
menyakiti dirinya.
Diambilnya serpihan kaca yang dipegang Alex
hingga melukai tangannya dan mengeluarkan darah. Dibuangnya sembarangan kaca
itu. ‘Plaakkk….’ Sebuah tamparan keras dari Caroline mengenai pipi kanan Alex.
“Kau bodoh, kau bodoh, apa dengan kau bunuh
diri semuanya akan berakhir, huh?” teriak Caroline di depan muka Alex.
Perlahan-lahan air matanya mulai turun membasahi pipi Caroline.
“Arrrgghhhh,,,,! Aku benci dengan semua ini,
aku benci. Aku memang bodoh, tolol!” jawab Alex dengan berteriak.
Dipeluknya tubuh Alex dengan tiba-tiba. Alex
yang menerima pelukan tiba-tiba dari Caroline hanya bisa diam membisu, tak tahu
apa yang harus dilakukannya. Matanya yang sembab dan penuh beruraian air mata
tak mampu menghentikan aliran air mata yang sudah seperti sungai.
“Aku tak pernah merasakan hal seperti ini,
aku sungguh tak tahu apa yang aku rasakan!” ucap Alex di dalam hatinya.
Perlahan tapi pasti, Alex mulai membalas
pelukan Caroline. Kini, air mata itu semakin deras mengalir.
“Tenanglah, Alex. Aku di sini! Aku janji tak
akan meninggalkanmu!” ucap Caroline di pelukan Alex.
Entah apa yang dipikirkan Caroline hingga ia
bisa mngeluarkan kata-kata seperti itu. Semuanya keluar begitu saja, semua
keluar benar-benar dari dalam hati Caroline.
“Terima kasih Caroline. Maafkan aku jika
selama ini aku berbuat kasar padamu!” ucap Alex seraya melepas pelukannya.
“Sudahlah, jangan bahas itu lagi. Itu kan
sudah berlalu!” jawab Caroline dengan sebuah senyum meyakinkan.
Diraihnya tangan Caroline oleh Alex berniat
untuk mengucapkan terima kasih atas semuanya.
“Aww…>,<” rintih Caroline saat Alex
memegang tangan kananya.
“Ya Tuhan! Tangan kamu berdarah Caroline, ini
semua gara-gara aku!” ucap Alex dan menundukkan kepalanya, ia benar-benar
merasa bersalah atas semuanya, “maafkan aku!” lanjut Alex.
“Sudahlah, ini kan hanya luka ringan saja.
Bentar lagi juga sembuh!” jawab Caroline meyakinkan Alex.
“Sini, biar aku obati!” ucap Alex seraya
berdiri ingin menambil kotak P3K.
“Jangan!” cegah Caroline seraya meraih tangan
Alex, “jangan, kau kan majikanku, tak pantas kau memperlakukan pembantumu
seperti ini!” lanjut Caroline.
“Bisakah kau tidak berkata seperti itu? Apa
aku juga harus menjadi seorang pembantu sepertimu agar aku bisa menolongmu?” tanya
Alex bersikeras untuk mengobati luka Caroline.
Caroline hanya menggelengkan kepala.
“Kalau begitu biar aku mengambil kotak P3K
dulu!” kata Alex.
Caroline pun melepaskan genggaman tangannya
daan membiarkan sang majikannya mengambil kotak P3K untuk mengobatinya.
Tak lama, Alex pun datang dengan membawa
kotak P3K. Diobatinya luka di tangan Caroline dengan perlahan-lahan.
“Sudah selesai!” ucap Alex dan tersenyum
kearah Caroline.
“Terima kasih!” ucap Caroline.
“Ini sudah malam, lebih baik kau tidur! Maaf
jika aku sudah mengganggu tidur nyenyakmu!” ucap Alex seraya menundukkan
kepalanya.
“Sudahlah, jangan berkata seperti itu. Kau
tidak salah kok!” jawab Caroline dengan ikhlasnya.
“Terima kasih!” ucap Alex dan dengan
tiba-tiba ia memeluk Caroline. Dengan ragu-ragu Caroline membalas pelukan Alex.
“Tak usah berterima kasih padaku, berterima
kasihlah kepada Tuhan. Jika dia tidak mengizinkan kau hidup pasti aku tak akan
ada di sini untuk menolongmu!” ucap Caroline seraya melepaskan pelukan Alex.
“O ya, Caroline! Bolehkah aku ikut menjenguk
adikmu besok?” tanya Alex.
“Tentu saja boleh, kenapa tidak?” jawab
Caroline dengan senyuman yang mengembang.
“Terima kasih! Sekarang, lebih baik kau
tidur, aku tak ingin terlambat menjenguk adikmu itu! O ya, nama adikmu siapa?”
tanya Alex lagi.
“Caca nastasya. Kau bisa memanggilnya Caca!”
jawab Caroline dengan mantap.
“Ok,” ucap Alex singkat.
“Baiklah, mungkin aku bisa membantumu
membersihkan kamarmu yang berantakan ini?” tawar Caroline pada Alex.
“Tak usah, inikan perbuatanku, jadi aku harus
bertanggung jawab. Lebih baik kau tidur agar besok tidak terlambat!” jawab
Alex.
“Baiklah, aku tidur dulu! Selamat malam!
Mimpi indah!” pamit Caroline seraya bangkit dari duduknya dan pergi
meninggalkan kamar Alex menuju kamarnya untuk bersitirahat.
“Mimpi indah juga!” jawab Alex.
Setelah Caroline pergi, Alex segera
membersihkan kamarnya dan menatanya kembali. Semua pecahan kaca itu
dibersihkannya. Setelah selesai, Alex kembali tidur dan terlelap dengan senyum
yang mengembang di bibirnya. Belum pernah ia merasakan sesuatu seperti ini
sebelumnya.
v
Pagi telah menjelang, Alex sudah siap dengan
pakaian rapi yang ia kenakan. Hari ini Alex akan menemani Caroline menjenguk
adiknya.
“Kau sudah siap?” tanya Caroline saat Alex
sedang menapaki satu per satu tangga menuju lantai bawah.
“Tentu!” jawab Alex mantap.
“Kalau begitu kita langsung saja berangkat!
Kalau terlalu siang nanti susah mencari transportasi!” ucap Caroline.
“Tak perlu menunggu, kan aku punya mobil!
Jadi kita bisa lebih cepat sampai!” ucap Alex dan menyunggingkan senyumannya.
“Tapi…!” ucap Caroline terpotong karena Alex
sudah menarik tangan Caroline menuju mobilnya.
“Masuklah!” perintah Alex kepada Caroline
seraya membukakan pintu mobil untuk Caroline.
“Tapi…!” ucap Caroline ragu-ragu.
“Cepatlah! Atau kamu mau aku marah lagi?”
ancam Alex.
“Baiklah,” jawab Caroline mengalah.
Akhirnya Caroline mau masuk mobil dan diikuti
Alex. Dengan segera, Alex melajukan mobilnya menuju rumah sakit dimana adik
Caroline dirawat. Selama perjalanan Caroline hanya diam dan menatap lurus.
Begitu juga dengan Alex, dia hanya fokus menyetir.
Sesampainya di rumah sakit, Alex dan Caroline
bergegas menuju kamar rawat Caca.
“Pagi adikku yang manja!” sapa Caroline saat
masuk ke kamar rawat Caca.
“Kakak?” ucap Caca terkejut.
“Iya sayang, ini kakak! Dan ini majikan
kakak, Tuan Alex!” ucap Caroline memperkenalkan Alex kepada adiknya.
“Selamat pagi, Tuan!” sapa Caca pada Alex.
“Pagi! Bisakah kau tidak memanggilku dengan
Tuan? Aku minta kau memanggilku dengan kakak saja!” pinta Alex.
“Baik, Tuan! Eh, maksud aku kakak!” ucap
Caca.
“Gitu donk!” ucap Alex seraya membelai lembut
rambut Caca.
“Bagaimana kabarmu hari ini, dik? Apa kau
merasa lebih baik?” tanya Caroline.
“Tentu! Ini semua berkat kakak! Aku sudah tak
tahu lagi bagaimana jadinya jika tak ada kakak! Mungkin aku sudah mati dari
dulu dan…” ucap Caca tak melanjutkan perkataannya.
“Dan apa?” tanya Alex.
“Sudahlah, tidak penting! O iya kak, kakak
itu pasti punya pacar yang cantik!” jawab Caca dan berusaha mengalihkan
pembicaraan.
“Jangan mengalihkan pembicaraan Caca
Anastasya!” ancam Caroline.
“Maaf, kak!” ucap Caroline seraya menundukkan
kepalanya.
“Caroline! Jangan begitu dengan adik
sendiri!” bentak Alex seraya memeluk Caca.
“Terserah! Aku mau cari sarapan dulu! Tolong
jaga Caca sebentar!” ucap Caroline datar dan segera keluar untuk mencari
sarapan.
“Makasih kak! Kakak sudah belain aku!” ucap
Caca dan memeluk Alex.
“Iya, sama-sama!” jawab Alex dan membalas
pelukan Caca.
Diciumnya pucuk kepala Caca dengan penuh
perasaan. Perlahan-lahan air mata Alex mulai turun membasahi pipi Alex. Dia tak
habis pikir bagaimana bisa dia berbuat jahat pada Caroline dan secara tidak
langsung, dia juga berbuat jahat pada Caca yang pada kenyataannya tak punya
salah apa-apa. Dia sangat merasa bersalah pada Caca.
“Aku janji padamu, aku akan membantumu untuk
bisa sembuh!” ucap Alex di dalam hati.
“Kakak? Kakak kenapa menangis?” tanya Caca
seraya menyeka air mata Alex.
“Tidak, kakak tidak menangis kok! Kakak
bangga sama kamu bisa melalui semua ini sendiri!” jawab Alex.
“Tidak! Aku tidak sendiri! Masih ada kak
Caroline yang menemaniku! Walaupun terkadang dia sangat sibuk mencari uang
untukku. Tapi itu semua kan demi aku, jadi aku harus mau ditinggal kak Caroline
setiap hari!” ucap Caca dan seraya menyungginggkan senyuman di bibirnya.
“Kemana orang tua kalian?” tanya Alex.
“Mereka sudah meninggal, kak! Sudah lama
mereka meninggal karena kecelakaan!” jawab Caca seraya menundukkan kepalanya.
“Maafkan kakak ya! Bukan maksud kakak buat…”
“Sudahlah, tidak apa-apa,” potong Caca.
“Sebenarnya kamu sakit apa?” tanya Alex
lembut seraya membelai rambut Caca.
“Sirosis, kak! Sebenarnya aku sudah tidak
kuat untuk hidup. Tapi kak Caroline selalu menyemangatiku! Dia selalu bilang
jika aku sudah tak ada, bagaimana nasib kak Caroline? Kak Caroline pasti sedih
dan dia hanya punya aku di dunia ini! Aku hanya takut jika suatu saat Tuhan
akan mengambil nyawaku, aku takut kak Caroine sedih dan aku tak mau
meninggalkan kak Caroline sendiri!” jawab Caca panjang lebar.
Caca sudah tak kuat lagi menahan air mata
yang sudah berkumpul di pelupuk matanya. Dia sangat takut jika dia tak bisa
lagi menemani kakaknya lagi kalau Tuhan benar-benar mengambil nyawanya. Hidup
ini memang sungguh berat, perlu pengorbanan besar untuk mencapai tujuan.
“Sudah jangan menangis! Kakak tahu suatu saat
pasti kamu bisa sembuh dan kamu bisa menemani kakak kamu lagi. Jadi, kak
Caroline nggak akan kesepian lagi! Caca harus janji sama kakak kalau Caca harus
bisa bertahan! Janji?” ucap Alex dan memberikan jari keingkingnya
“Janji!” jawab Caca dan mengaitkan
kelingkingnya dengan kelingking Alex.
“Gitu donk!” ucap Alex seraya mengacak-acak
rambut Caca, “Kakak haru spergi sekarang, kamu nggak papa kan sendiri? Pasti
sebentar lagi kak Caroline pasti datang!” lanjut Alex.
“Yah! Kok kakak mau pergi sih? Aku kan
kesepian disini, nggak ada yang mau menemaniku!” ucap Caca bersedih.
“Jangan sedih gitu donk! Kakak janji pasti
kakak kesini lagi! Oke?” ucap Alex.
“Baiklah!” jawab Caca dengan nada lesu.
“Kakak pergi dulu, jaga dirimu baik-baik!”
ucap Alex dan mencium kening Caca dan bergegas meninggalkan rumah sakit.
Tak berapa lama kemudian Caroline datang dan
membawakan sarapan untuk Caca.
“Loh kak Alex nya mana?” tanya Caroline
seraya meletakkan sarapan diatas meja.
“Sudah pergi. Katanya ada urusan!” jawab Caca
dengan nada datar.
“Kamu kenapa sih, dek?” tanya Caroline dan
mendekati Caca.
“Tidak apa-apa! Sudahlah, aku lapar!” jawab
Caca dengan nada sebal.
“Yaudah! Kakak suapin yah?” tanya Caroline
seraya mengeluarkan bubur dari dalam tas kresek yang baru dibelinya tadi. Caca
hanya mengangguk tanda setuju.
Setelah Caroline selesai menyuapi adiknya,
dia segera berpamitan dan pulang ke rumah majikannya.
Selama diperjalanan, hati Craoline merasa
tidak enak. Seperti aka nada sesuatu yang buruk yang akan terjadi.
Caroline sudah sampai di depan pintu gerbang rumah
majikannya. Betapa terkejutnya dia mendapati banyak orang berdatangan dengan
berpakaian hitam-hitam. Tanpa pikir panjang, Caroline langsung berlari kedalam
rumah majikannya. Didapatinya seorang ibu yang tengah menangisi jenazah seorang
anak laki-laki yang sudah terbujur kaku dengan kain putih yang menutupinya
sampai ke leher. Caroline tahu betul jika itu adalah Alex.
Semua ini bagai petir di siang bolong tanpa
awan sedikitpun, sangat mengejutkan. Caroline ak habis pikir jika Alex memilih
mengambil jalan tengah. Merasa bukan siap-siapa, Caroline hanya bisa menangis
dan mengamati dari jauh jenazah Alex.
Merasa sudah tak kuat lagi, Caroline langsung
berlari menuju dapur. Tak kuat lagi rasa hatinya melihat seorang yang baru saja
tersenyum lalu kini sudah tak bernyawa lagi.
Kini semua orang tengah bersiap-siap untuk
pemakaman Alex. Diangkatnya peti mati itu dan dimasukkan kedalam mobil ambulance.
Sirine mobil itu mulai meraung-raung bagai seorang anak kecil yang kehilangan
lollipopnya.
Kini sudah tak ada lagi sosok Alex yang
membuat Caroline tambah tegar dalam menghadapi cobaan hidup yang silih
berganti. Tidak ada lagi yang akan menemani dia menjenguk Caca walaupun dia
hanya menjenguk Caca satu kali dan itulah terakhir kalinya dia menjenguk Caca.
Kesedihan begitu dirasakan Caroline hingga
dia merasa malam ini terasa panjang. Pagi menjelang dengan malu-malunya
membuatnya sedikit lama untuk muncul dan menerangi hari yang sesungguhnya
sangat kelam. Dengan langkah malasnya, Caroline bangkit menuju kamar mandi dan
membersihkan badannya. Setelah selesai, dia langsung menuju dapur untuk
mengerjakan yang harus dukerjakan.
Pagi ini begitu sepi tanpa kehadiran Alex.
Semuanya terasa hampa bak soup tanpa garam yang rasanya hambar. Walaupun begitu
dia harus tetap semangat untuk adik tercintanya itu.
Setelah semuanya selesai, Caroline bergegas
menuju rumah sakit. Sesampainya dirumah sakit, betapa terkejutnya dia tak
mendapati adiknya di ruang rawatnya. Dengan tergesa-gesa, Caroline mendatangi
meja resepsionis dan menanyakan keberadaan adiknya.
“Sus, dimana pasien yang dirawat di kamar
nomor 33?” tanya Caroline langsung.
“Oh, pasien sudah dipindahkan di kamar nomor
1! Dan pasien sudah selesai dioperasai transplantasi hati dan sekarang sudah
membaik!” jawab suster itu.
“Dioperasi?” ucap Caroline tak percaya.
“Iya, pasien sudah mendapatkan donor hati
dari seseorang yang meninggal kemarin!”
“Siapa orang itu sus?”
“Maaf kami tidak bisa member tahu soal siapa
pendonor itu.”
“Baiklah, terima kasih sus.” Ucap Caroline
dan pergi berlalu menuju kamar inap nomor 1. Kamar yang diperuntukkan bagi
mereka yang mempunyai kantong yang tebal.
Perlahan namun pasti, Caroline membuka pintu
kamar inap itu.
“Tuan, Nyonya?” ucap Caroline tidak percaya
mendapati majikannya bersama adiknya.
“Caroline, kesini nak, om dan tante mau
bicara sama kamu!” ucap sang majikan perempuan kepada Caroline.
“Om dan tante mau berterima kasih kepada kamu
dan adikmu karena kalian sudah menyadarkan om dan tante bahwa pekerjaan itu
tidaklah penting dibandingkan dengan anak sendiri.” Giliran sang majikan
laki-laki yang berbicara.
“Alex sungguh berhati besar, walaupun kami
kecewa dan juga merasa sangat sedih ketika mengetahui Alex memilih jalan tengah
sebagai penyelesaiannya, tapi kami bangga, dia mau mendonorkan mata, hati,
jantung, dan ginjalnya pada orang lain!” jelas sang nyonya.
“Jadi yang mendonorkan hati untuk Caca itu
Alex nyonya?” tanya Caroline tidak percaya dan hanya dibalas anggukan sang
majikan.
“Alex meminta kepada kami agar kami membiayai
semua biaya rumah sakit Caca dan dia meminta kami untuk mengangkat kalian
menjadi anak kami!” ucap nyonya itu.
“Jadi, kami mohon kalian tidak meolak karena
ini permintaan terakhir Alex.”
“Iya nyonya!” jawab Caroline.
Kini perlahan-lahan daun pohon deciduous
telah berguguran dari pohonnya menghiasi pergantian musim gugur ke musim
dingin. Daun terkahir pohon deciduous telah gugur dan digantikan dengan
turunnya kristal-kristal es di seluruh kota.
Inilah akhir dari perjuangan seorang kakak
untuk adiknya dan akan digantikan oleh perjuangan orang tua tiri untuk anak
tiri mereka yang mereka sayangi. Walaupun begitu tugas sang kakak belum
selesai. Ini hanya sebuah permulaan pada akhiran. Semuanya akan kembali
berputar seperti roda kehidupan yang tak pernah berhenti berputar.
***
0 komentar: