Recent Posts

Selasa, 21 Februari 2012

0 komentar

DAUN TERAKHIR POHON DECIDUOUS : "Pengorbanan"


DAUN TERAKHIR POHON DECIDUOUS

Musim panas hampir berakhir, kini semua orang tengah menyambut datangnya musim gugur dan bersiap-siap merayakan Natal bersama keluarga. Tetapi tidak dengan Carolina Anastasya, dia tidak ada waktu untuk bersenang-senang karena dia harus menjaga adiknya yang sedang sakit di rumah sakit. Hidupnya begitu susah setelah ditinggal kedua orang tuanya. Hidupnya berubah 1800. Dulu dia mempunyai orang tua yang sangat menyayanginya sampai akhirnya dia harus kehilangan kedua orang tuanya saat kecelakaan maut merenggut nyawa kedua orang tuanya.

Belum usai kesedihan yang dirasakannya, kini dia harus menanggung beban yang lain, dia harus membiayai adiknya yang sedang sakit, sedangkan dia hanya bekerja sebagai pembantu rumah tangga di salah satu rumah elit di blok M. Memang dia sangat beruntung, walaupun umurnya masih 15 tahun tapi dia mampu melewati semua ujian ini dengan sabar. Majikannya sangat baik kepadanya, kecuali anak majikannya, si sombong Alex Robbinson. Dia adalah laki-laki yang sangat sombong dan sok berkuasa, yah, gara-gara kekayaan orang tuanya. Terkadang Caroline dijahilinya sampai-sampai Caroline menangis. Sebenarnya Caroline sudah tidak kuat lagi bekerja di rumah majikannya itu, walaupun majikanya baik, tapi anaknya berbeda jauh, kadang-kadang Caroline berfikir apa benar itu anak majikanya? atau jangan-jangan cuma nemu di tong sampah? 
v    
Pagi-pagi sekali Caroline sudah bangun dan segera menuju dapur untuk menyiapkan sarapan untuk majikannya. Setelah selesai sarapan, Caroline masih harus mengepel lantai dan membersihkan jendela.

"Heh anak tolol, ngapai loe disini?" bentak Alex kepada Caroline karena Caroline sedang mengepel lantai di depan tangga dan menutupi jalan Alex.
"Maaf, sebentar lagi, tuan!" jawab Caroline dengan menundukkan kepalanya, bukanya dia takut pada majikan sombongnya tetapi dia hanya tak mau mencari keributan, dia tak punya banyak waktu karena setelah semua pekerjaannya selesai, dia harus segera ke rumah sakit menjenguk adiknya, Caca Anastasya.

"Cepat minggir!" teriak Alex.
"Baik tuan!" jawab Caroline dan segera menyingkir.
"Dasar pembantu tak tahu diri!" oceh si sombong Alex.
Mungkin karena kesal, Alex langsung menjambak rambut Caroline dan menyeretnya ke gudang.
"Ampun tuan, ampun, ampuni saya tuan, saya mohon!" teriak Caroline sambil menangis dan menahan sakitnya jambakan Alex.
"Tidak bisa, kau harus diberi pelajaran, dasar pembantu tak tahu diri, sudah untung bisa bekerja disini, masih nglunjak juga!" teriak Alex dan masih tetap menyeret Caroline dengan tak manusiawi. "Brakk,,,," Alex mendobrak pintu gudang dengan kasarnya dan mendorong masuk Caroline.
"Kau, kau harus diberi pelajaran, kau harus masuk gudang sampai aku pulang!" ucap Alex. Alex pun mengunci pintunya dan membiarkan Caroline berada di gudang yang penuh debu dan berantakan.
"Tuan, tolong tuan! Bukakan pintunya tuan! Tolong, saya harus pergi tuan, tolong maafkan saya tuan! Tuan!" teriak Caroline dari dalam dan menggedor-gedor pintu gudang.

Percuma saja yang dilakukan Caroline karena majikannya yang sombong itu telah pergi ke sekolahnya dan berita bagusnya, si sombong Alex tak akan pulang sebelum pukul 10 malam, itu sudah menjadi kebiasaan buruknya, dugem bersama teman-teman sampai larut malam dan minum-minum sampai mabuk. Walaupun Alex masih duduk di bangku SMA kelas 3, tapi orang tuanya tak bisa berbuat apa-apa untuk melarangnya berhenti minum minuman keras. Sudah berkali-kali ia diingatkan oleh papa dan mamanya, tetapi tetap sama saja. Orang tuanya sudah capek mengingatkannya.
v 
Sudah berjam-jam Caroline berada di dalam gudang, dia terus menangis, bukan karena takut akan gelapnya gudang, tetapi dia takut kalau adiknya, Caca Anastasya mencarinya, dia takut terjadi sesuatu pada adik tercintanya itu. Adiknya menderita sirosis sejak umurnya 5 tahun dan sekarang umurnya sudah 8 tahun. Dia tak tega melihat adiknya menderita. Jika bisa, dia mau menukar tempat dengan adiknya itu, biar dia yang merasakan sakitnya penyakit itu menggerogoti tubuhnya

Di rumah sakit, Caca sering mengigau memanggil nama kakaknya. Dia sangat membutuhkan kakaknya sekarang. Sedangkan kakaknya, dia sedang mencari cara untuk keluar dari gudang itu. Mata Caroline menyoroti setiap sudut ruangan hingga pandangannya berhenti pada jendela yang terletak agak tinggi dari tanah. Dengan segera, Caroline berusaha menggapai jendela itu, tapi usahanya gagal. Walaupun gagal, dia tidak menyerah. Dicarinya sesuatu yang dapat membantunya. Pandanganya kembali beredar dan dia melihat sesuatu yang dapat membantunya. Diambilnya sebuah kursi dan diletakkan dibawah jendela, dengan segera Caroline memanjat dan dia berhasil keatas jendela. Tanpa pikir panjang, Caroline langsung melompat dan berlari meskipun kakinya terasa sakit karena ia tak memakai alas kaki apapun. 

Dengan langkah terseok-seok, Caroline tetap berusaha menuju ke rumah sakit. Dia terpaksa jalan kaki karena dia tidak bisa mengambil uang di dalam kamarnya. Walaupun bisa dikatakan jarak rumah majikannya dengan rumah sakit sangatlah jauh, namun rasa sayang yang teramat besar mampu menjadikan jarak itu hanya bagai sebuah lidi yang menghalangi jalannya. Karena tak ingin membuat adiknya terlalu lama menunggu, Caroline memilih untuk berlari. Keringat mengucur dengan derasnya, keringat pengorbanan seorang kakak untuk adiknya, keringat yang tak akan bisa digantikan oleh apapun di dunia ini, keringat seorang pahlawan kecil yang mampu menjadi tauladan bagi kita, contoh bagi kita, inilah hidup, perlu pengorbanan. Jangan sekali-kali kamu meremehkan keringat, jangan kamu memandang keringat sebelah mata, pandanglah pengorbanan besar yang mampu membuat keringat itu lebih berharga dari segalannya.

Akhirnya Caroline sampai di rumah sakit dan segera menuju ke ruangan adiknya. Untunglah adiknya tak kenapa-kenapa.

"Huh,,, untunglah tak terjadi apa-apa, terimakasih Tuhan!" ucap Caroline menghela nafas lega.

Caroline berjalan menuju kursi dekat tempat tidur adiknya, dibelainya rambut adiknya itu. Tak terasa Caroline meneteskan air matanya, tak tahu lagi apa yang harus dilakukanya demi kesembuhan adik tercintanya itu. Hutang di rumah sakit semakin menumpuk, sedangkan gajinya hanya pas-pasan, tak mungkin dia meminjam uang majkannya, dia tak mau merepotkan majikanya karena mereka sudah baik hati kepada Caroline.
"Ya Tuhan, apa yang harus aku lakukan? tolong sembuhkan adikku ya Tuhan, aku tak mau melihatnya menderita seperti ini. Tuhan, aku tahu kalau suatu saat kau juga akan mengambil nyawaku, aku takut jika kau megambil nyawaku sebelum adikku sembuh dan dapat bermain lagi seperti dulu. Tuhan, jika memang engkau sayang kepada umatmu, tolong bantu hamba ya Tuhan, aku mohon!" doa Caroline kepada Tuhannya.

Semua cobaan ini membuat dirinya semakin lemah, kulitnya yang putih nampak pucat dan kering, matanya yang sembab menunjukkan dirinya sering menangis, tulang-tulang yang dapat menopang tubuhnya kelihatan sekali, karena dia jarang makan, tubuhnya mulai kurus menahan beban yang amat banyak.

"kakak, kenapa kakak menangis? kakak sudah janji nggak akan menangis kan, kak?" ucap Caca dan menghapus air mata kakaknya dengan kasih sayang tulus dari seorang adik.
"Maafin kakak dek, kakak nggak bisa nepatin janji kakak!"
"Tidak apa-apa kak, maafin aku ya kak uda buat kakak sedih!" ucap Caca dan mulai meneteskan air mata.
"Adek jangan gitu, jangan nangis lagi, kakak nggak mau liat adek nangis, kakak tambah sedih kalau adek nangis, adek harus janji adek harus sembuh demi kakak, oke?" ucap Caroline dengan senyum mengembang di bibirnya untuk meyakinkan adiknya itu.
"Iya kak, aku janji!" jawab caca dan membalas senyuman kakaknya.

Sungguh hebat mereka berdua. Jika sedang berdua, masalah apapun yang sedang menimpa dapat dilupakan, senyum mengembang di bibir mereka, tawa canda kakak adik yang patut di acungi jempol, jarang di masa sekarang kakak adik bisa akur seperti itu, saling memberi satu sama lain dalam kesusahan seperti ini.

tok,,tok,,tok,, seseorang mengetuk pintu ruangan Caca, menghentikan canda tawa mereka berdua.
"Maaf, sudah saatnya pasien makan siang, ini makananya saya taruh di atas meja!" ucap suster rumah sakit itu dan meletakkan semangkuk bubur di atas meja.
"terimakasih sus!" ucap Caroline.
"Sama-sama, saya permisi dulu!" ucap suster itu dan segera menghilang menuju ke kamar lain mengantarkan makan siang pasien.
"Sekarang kau harus makan biar cepat sembuh!" ucap Caroline dan mengambil bubur itu.
"Suapin!" ucap Caca dengan manja.
"Baiklah adikku yang manja!" jawab Caroline dengan senyum mengembang di bibirnya. Dengan segera Caroline menyuapi adiknya dengan penuh kasih sayang.

Setelah selesai menyuapi adiknya, Caroline berpamitan kepada adiknya karena ia harus segera ke rumah majikannya untuk memasak dan menyiapkan keperluan majikannya itu.

"Sayang, kakak pulang dulu yah, jaga dirimu baik-baik, maafin kakak nggak bisa nemenin kamu terus!" ucap Caroline seraya membelai lembut rambut adiknya Caca.
"Iya kak, aku bisa ngerti, maafin aku juga ya kak uda ngerepotin kakak.!" jawab Caca dengan penuh penyesalan.
"Sssttt,, jangan bicara seperti itu, kamu nggak ngerepotin kakak kok,, yaudah, kakak pulang dulu yah!" kata Caroline lalu mencium lembut kening adiknya itu.
"Iya, kak!" jawab Caca.

Setelah berpamitan kepada adiknya, Caroline bergegas pulang menuju rumah majikannya. Lagi-lagi dia harus jalan kaki karena dia tak membawa uang sepeserpun. Kelelahan mendera bocah 15 tahun ini, tapi baginya dia tak apa seperti ini, toh ini bukanlah hal sulit baginya.

Sesampainya di rumah majikannya, ia dikejutkan oleh si sombong Alex yang sedang duduk di teras rumah.

"Heh kau, pembantu sialan! Dari mana saja kau? Bagaimana kau bisa keluar, huh?" tanya Alex dengan garangnya. Walaupun begitu, Alex masih belum beranjak dari duduknya. Kalau dilihat-lihat Alex itu memang ganteng, tapi sayang hatinya tak seindah parasnya.
"E...ii.....itu...anu...!" Caroline tak dapat menjawab pertanyaan Alex. Lidahnya terasa kelu karena dikagetkan oleh sosok Alex yang tiba-tiba muncul, padahal biasanya pulang malam.
"Tak usah a...ee..a...ee.. Sekarang juga, kau aku hukum!" bentak Alex seraya bangkit dari duduknya dan menghampiri Caroline yang masih berdiri tegak di depan pagar rumah yang menjulang tinggi tak menutupi kemegahan rumah majikannya itu.
"Ikut aku!" bentak Alex dan menyeret paksa Caroline.
"Ampun tuan maafkan saya!" mohon Caroline dan berusaha melepaskan genggaman si sombong Alex yang sangat kuat di tangannya.
"Diam kau,,,!" bentak Alex dan tetap menyeret tubuh Caroline.
"Tuan saya mohon maafkan saya, saya harus menemani adik saya di rumah sakit tuan! Saya mohon ampuni saya!" mohon Caroline dengan nada bergetar menahan jatuhnya air mata. Dia tahu dia kuat, tapi terkadang keadaan yang memaksanya menjadi lemah.
"Alah alasan, bilang saja kau mau mulung, iya kan? hahaha, dasar pembantu bodoh!" tawa Alex dan semakin meneyeret paksa Caroline.

Didorongnya tubuh Caroline hingga ia tersungkur di depan Alex. Dengan segera, Alex mengambil botol besar berisi minyak goreng penuh. Dibukanya tutup botol itu, perlahan dituangkanya minyak goreng itu ke kepala Caroline.

"Ha,,ha,,,ha,, rasakan itu, dasar pembantu bodoh!" tawa Alex tanpa merasa bersalah sedikit pun.

Caroline hanya bisa pasrah menerima semua itu, semua ini dilakukannya demi adik tercintanya. Miris memang, melihat semua itu. Caroline sempat berfikir betapa tidak adilnya hidup ini. Semua orang yang dilihatnya selalu tersenyum bahagia setiap harinya. Pergi bersenang-senang dengan keluarga mereka. Picnic, memancing bersama, hang out bersama.

Caroline hanya bisa membiarkan Alex menyiksanya. Air mata Caroline perlahan lahan mulai turun dan membasahi pipinya, mengalir berdampingan dengan minyak di pipinya. Tak bisakah orang-orang hidup seperti air mata dan minyak di pipi Caroline? Walaupun mereka berbeda, tapi mereka mau berjalan berdampingan, walaupun mereka tak bisa bersatu, tapi mereka dapat menuju ke satu kesatuan. Bisakah itu terjadi? Tentu bisa. Yang kita butuhkan hanya seorang pahlawan kecil seperti Caroline. Tak perduli dengan keadaanya sekarang, tak pernah menyerah menghadapi gelombang hidup yang pasang surut, tak pernah lelah memohon kepada sang Kuasa. Walaupun hidupnya susah, dia mampu melaluinya, betapa hebat anak itu.

"Ayolah Caroline, kemana dirimu yang sebenarnya? Kenapa kau hanya diam menerima perlakuan majikanmu yang sombong ini? Caroline, kau ini kuat, demi adikmu Caroline!" ucap Caroline dalam hati, berusaha bangkit dan melawan penjahat si Alex.

Caroline mengepalkan tanganya dan mulai mengumpulkan kekuatannya, keberanianya untuk melawan Alex. Ditepisnya tangan Alex yang masih memegang botol minyak goreng hingga botol yang dipegang Alex terlempar jauh menghasilkan suara pemecah keheningan diantara keduanya. Hanya suara  nafas Caroline menahan turunya air mata lebih lanjut.

Alex hanya diam terpaku melihat sosok Carline yang berubah 1800 tidak seperti biasanya.

"Kau,,,!" ucap Caroline, "Kau,, kuperingatkan kau, aku ini bukan budakmu, aku ini memang lemah, bodoh, tolol. Tapi aku tak seperti kau, busuk. Memang aku tak kaya sepertimu. Tapi aku tak serendah dirimu. Jika bukan karena adikku, sudah ku bunuh kau!" lanjut Caroline dengan garangnya.

Alex yang mendapat ancaman itu hanya bisa diam menatap dalam mata Caroline. Mata Caroline yang memancarkan ketulusan, belum pernah Alex melihat mata yang seperti itu, tak pernah ia melihat keteduhan hati seperti ini sebelumnya, tak pernah ia mendapatkan pengorbanan seperti yang dilakukan Caroline terhadap adiknya. Dia hanya ingin menemukan seseorang yang perduli terhadapnya, berkorban besar untuknya. Tapi ia tak pernah menemukannya, hingga ia frustasi dan berbuat seperti ini, dia tak percaya lagi dengan orang-orang disekitarnya, kenapa aku perduli? mereka saja tidak perduli terhadapku! Uacpnya selalu kepada dirinya sendiri

"Kau yang bodoh!" teriak Alex memecah keheningan sesaat diantara mereka berdua. "Kau bodoh, adikmu itu sebentar lagi mati. Buat apa kau berkorban seperti ini? Itu tak akan ada gunanya lagi, percuma,, dasar bodoh!" lanjut Alex dengan nada naik satu oktaf.
"Kau tak mengerti, kau tak akan mengerti sampai kapan pun. Memang benar umur dia sudah tak lama lagi, tapi aku tak akan pernah membiarkannya mati dalam kesedihan. Aku tahu dia anak yang kuat, tak seperti kau PENGECUT!" teriak Caroline dengan menekan kata PENGECUT.

"plaakk,,,," sebuah tamparan keras mengenai pipi kiri Caroline. Seperti mendapat ciuman dari sebuah plat baja di pipinya. Sakit, itu yang dirasakannya. Air matanya semakin deras membanjiri pipinya. Pipi kirinya perlahan berubah menjadi merah.

Caroline menatap tajam mata Alex sambil masih memegangi pipi kirinya. Caroline melihat genangan air mata di sudut mata Alex, air mata itu kini mulai turun membasahi pipi Alex. Caroline tak menyangka dengan apa yang dilihatnya kini. "Seorang Alex yang keras kepala dan sombong itu menangis?" Sungguh aneh memang, tapi itu benar-benar terjadi. Sesungguhnya jika pria menangis bukan berarti dia lemah, tapi karena hatinya sungguh terluka, luka yang amat sangat dalam.

"YA,, MEMANG AKU TAK PERNAH MENGERTI DAN AKU TAK AKAN PERNAH MERASAKANNYA, KARENA TAK ADA YANG BERBUAT SEPERTI ITU KEPADAKU, PUAS KAU?" teriak Alex di depan muka Caroline dan pergi berlari menaiki anak tangga menuju kamarnya dengan air mata yang mengalir deras di pipinya.

Caroline yang melihat semua itu hanya bisa diam terpaku dengan keadaan masih duduk di lantai dapur dengan semua saksi bisu pertengkaran hebat Alex dan Caroline.

"Apa yang sudah dikatakan Alex? Apa? Ya Tuhan, aku benar-benar tak menyangka semua ini terjadi, aku kira semua orang kaya itu pasti bahagia, ternyata tidak, bahkan dia tak pernah merasakanya sama sekali. Dan aku masih tidak menyangka jika dia bisa menangis seperti itu, pasti sulit rasanya menahan semua itu sendiri. Apalagi dia itu cowok,, cowok tak akan pernah menangis sebelum hatinya benar-benar terluka!" ucap Caroline dalam hati mencoba meyakinkan diri sendiri tentang apa yang baru saja terjadi.

Tanpa pikir panjang dia langsung berlari menyusul Alex menuju kamarnya. Dipijaknya satu persatu tangga menuju kamar Alex. Sesampainya di depan kamar Alex, Caroline langsung membuka pintu kamar Alex tanpa mengetuknya.

"Alex?" panggil Caroline.
"Mau apa kau?" jawab Alex dengan ketus tanpa melihat kearah Caroline, dia hanya asyik dengan memandang keluar jendela kamarnya.
"Aku hanya ingin meminta maaf karena aku tadi sudah membentakmu!" jawab Caroline dengan nada menyesal.
"Perduli apa kau denganku?" tanya Alex dengan ketus seraya memutar badanya melihat kearah Caroline.
"Semua orang perduli denganmu, jangan bicara seperti itu!" jawab Caroline dengan santai.
"Ciih,, jangan ceramah di depanku pembantu sialan, inget, kamu itu cuma pembantu, PEMBANTU!" ucap Alex dengan menekan kata pembantu.
"Memang aku seorang pembantu, tapi pekerjaanku ini sangat mulia, membantu orang yang kesusahan dalam mengerjakan pekerjaan rumah tangga mereka, tapi ini semua demi adikku, jangan pernah kau menghinanya lagi!" jawab Caroline dengan nada mengancam.
"Terserah,,!" ucap Alex dan kembali mengarahkan pandangannya keluar jendela.

Tanpa banyak bicara, Caroline langsung pergi dari kamar Alex menuju dapur dan membereskan semua kekacauan di dapur. Setelah selesai membersihkannya, Caroline langsung pergi mandi dan mengerjakan apa yang seharusnya dikerjakan oleh Caroline.
v 
Malam ini begitu berbeda bagi Caroline. Dia masih tidak percaya atas apa yang menimpanya tadi sore. Sema berlalu begitu cepat dan membekas dalam di benak Caroline. Caroline masih tidak percaya jika seorang Alex yang begitu kejamnya, begitu angkuhnya itu dapat menangis. Caroline berfikir jika apa yang dirasakan Alex pasti sangat menyakitkan. Tapi hingga saat ini dia tak pernah tau apa yang menyebabkan semua ini.

Jam sudah menunjukkan pukul 11 malam, tapi Carolina tidak bisa tidur. Entah apa yang difikirkannya hingga membuatnya susah tidur.

Caroline mengangkat tubuhnya dan duduk di bibir tempat tidur, pikiranya entah kemana. Dilangkahkanya kedua kakinya menuju ke kamar Alex. Entah apa yang difikirkan Caroline hingga ia memutuskan untuk melihat keadaan Alex. Seampainya di depan pintu kamar Alex, Caroline mendengar suara tangisan dari dalam kamar Alex.

"Apa jangan-jangan itu Alex yah?" tanya Caroline pada dirinya sendiri.

Dirapatkanya telinga Caroline ke pintu untuk memperjelas pendengarannya. “Praannkk,,,,” Terdengar suara yang mengagetkan Caroline dari dalam. Tanpa pikir panjang, Caroline langsung masuk ke dalam kamar Alex yang kebetulan tidak terkunci. Mata Caroline membulat melihat Alex yang sedang berdiri dengan nafas tersengal-sengal dan kamarnya yang berantakan.

"AAA,,,, aku benci kalian, aku benci! lebih baik aku mati!" Teriak Alex dan memberantakkan semua isi kamarnya dan kemudian mengambil sebuah serpihan kaca. Dan diarahkannya serpihan kaca itu ke urat nadinya.
"Apa yang kau lakukan Alex?" Tanya Caroline dengan wajah khawatirnya.
“Stop jangan bergerak!” ucap Alex memperingatkan Carolie agar tidak mendekat.
“Alex, jangan nekat, kau tidak bisa melakukannya, Alex!” ucap Caroline berusaha membujuk Alex agar tidak melakukan aksi nekatnya.
“Bullshit, kau pembantu sialan tak tahu apa-apa!” teriak Alex. Semakin deras air mata di pipi Alex.
“Aku tahu Alex, aku tahu! Tapi jangan lakukan itu Alex! Dengan kau bunuh diri tidak akan pernah bisa menyelesaikan masalah!” Ucap Caroline meyakinkan Alex seraya melangkahkan kakinya secara perlahan kearah Alex.
“Aku bilang jangan bergerak!” teriak Alex
“Ok, akan aku turuti kemauan mu, tapi aku mohon jangan lakukan itu, Alex!” ucap Caroline dan menghentikan langkahnya seperti kemauan Alex.
“Shut up,,,! Kau itu tak tahu apa-apa. Asal kau tahu, taka ada yang menginginkanku di dunia ini, jadi buat apa aku hidup, lebih baik aku mati!” teriak Alex.
“Siapa bilang tak ada yang menginginkanmu, huh? Siapa yang tidak menginginkanmu, huh? Aku tanya, SIAPA?” tanya Caroline dengan nada kencang.
“Semua,, semuanya. Tak ada yang menginginkanku. Papa, Mama, dan juga termasuk kau! Aku benci dengan semua ini, tak ada yang bisa mengerti aku!” teriaknya menjawab peranyaan Caroline.

Alex mulai menempelkan serpihan kaca itu di tanganya berniat memotong urat nadinya. Dengan refleksnya, Caroline berlari kearah Alex dan menghentikan semua yang akan dilakukan Alex. Entah apa yang mendorong Caroline untuk berbuat seperti itu. Tak perduli siapa yang ditolongnya, walaupun orang yang ditolongnya itu adalah orang yang selama ini menyakiti dirinya.

Diambilnya serpihan kaca yang dipegang Alex hingga melukai tangannya dan mengeluarkan darah. Dibuangnya sembarangan kaca itu. ‘Plaakkk….’ Sebuah tamparan keras dari Caroline mengenai pipi kanan Alex.

“Kau bodoh, kau bodoh, apa dengan kau bunuh diri semuanya akan berakhir, huh?” teriak Caroline di depan muka Alex. Perlahan-lahan air matanya mulai turun membasahi pipi Caroline.
“Arrrgghhhh,,,,! Aku benci dengan semua ini, aku benci. Aku memang bodoh, tolol!” jawab Alex dengan berteriak.
Dipeluknya tubuh Alex dengan tiba-tiba. Alex yang menerima pelukan tiba-tiba dari Caroline hanya bisa diam membisu, tak tahu apa yang harus dilakukannya. Matanya yang sembab dan penuh beruraian air mata tak mampu menghentikan aliran air mata yang sudah seperti sungai.
“Aku tak pernah merasakan hal seperti ini, aku sungguh tak tahu apa yang aku rasakan!” ucap Alex di dalam hatinya.
Perlahan tapi pasti, Alex mulai membalas pelukan Caroline. Kini, air mata itu semakin deras mengalir.
“Tenanglah, Alex. Aku di sini! Aku janji tak akan meninggalkanmu!” ucap Caroline di pelukan Alex.

Entah apa yang dipikirkan Caroline hingga ia bisa mngeluarkan kata-kata seperti itu. Semuanya keluar begitu saja, semua keluar benar-benar dari dalam hati Caroline.

“Terima kasih Caroline. Maafkan aku jika selama ini aku berbuat kasar padamu!” ucap Alex seraya melepas pelukannya.
“Sudahlah, jangan bahas itu lagi. Itu kan sudah berlalu!” jawab Caroline dengan sebuah senyum meyakinkan.
Diraihnya tangan Caroline oleh Alex berniat untuk mengucapkan terima kasih atas semuanya.
“Aww…>,<” rintih Caroline saat Alex memegang tangan kananya.
“Ya Tuhan! Tangan kamu berdarah Caroline, ini semua gara-gara aku!” ucap Alex dan menundukkan kepalanya, ia benar-benar merasa bersalah atas semuanya, “maafkan aku!” lanjut Alex.
“Sudahlah, ini kan hanya luka ringan saja. Bentar lagi juga sembuh!” jawab Caroline meyakinkan Alex.
“Sini, biar aku obati!” ucap Alex seraya berdiri ingin menambil kotak P3K.
“Jangan!” cegah Caroline seraya meraih tangan Alex, “jangan, kau kan majikanku, tak pantas kau memperlakukan pembantumu seperti ini!” lanjut Caroline.
“Bisakah kau tidak berkata seperti itu? Apa aku juga harus menjadi seorang pembantu sepertimu agar aku bisa menolongmu?” tanya Alex bersikeras untuk mengobati luka Caroline.
Caroline hanya menggelengkan kepala.
“Kalau begitu biar aku mengambil kotak P3K dulu!” kata Alex.
Caroline pun melepaskan genggaman tangannya daan membiarkan sang majikannya mengambil kotak P3K untuk mengobatinya.
Tak lama, Alex pun datang dengan membawa kotak P3K. Diobatinya luka di tangan Caroline dengan perlahan-lahan.
“Sudah selesai!” ucap Alex dan tersenyum kearah Caroline.
“Terima kasih!” ucap Caroline.
“Ini sudah malam, lebih baik kau tidur! Maaf jika aku sudah mengganggu tidur nyenyakmu!” ucap Alex seraya menundukkan kepalanya.
“Sudahlah, jangan berkata seperti itu. Kau tidak salah kok!” jawab Caroline dengan ikhlasnya.
“Terima kasih!” ucap Alex dan dengan tiba-tiba ia memeluk Caroline. Dengan ragu-ragu Caroline membalas pelukan Alex.
“Tak usah berterima kasih padaku, berterima kasihlah kepada Tuhan. Jika dia tidak mengizinkan kau hidup pasti aku tak akan ada di sini untuk menolongmu!” ucap Caroline seraya melepaskan pelukan Alex.
“O ya, Caroline! Bolehkah aku ikut menjenguk adikmu besok?” tanya Alex.
“Tentu saja boleh, kenapa tidak?” jawab Caroline dengan senyuman yang mengembang.
“Terima kasih! Sekarang, lebih baik kau tidur, aku tak ingin terlambat menjenguk adikmu itu! O ya, nama adikmu siapa?” tanya Alex lagi.
“Caca nastasya. Kau bisa memanggilnya Caca!” jawab Caroline dengan mantap.
“Ok,” ucap Alex singkat.
“Baiklah, mungkin aku bisa membantumu membersihkan kamarmu yang berantakan ini?” tawar Caroline pada Alex.
“Tak usah, inikan perbuatanku, jadi aku harus bertanggung jawab. Lebih baik kau tidur agar besok tidak terlambat!” jawab Alex.
“Baiklah, aku tidur dulu! Selamat malam! Mimpi indah!” pamit Caroline seraya bangkit dari duduknya dan pergi meninggalkan kamar Alex menuju kamarnya untuk bersitirahat.
“Mimpi indah juga!” jawab Alex.

Setelah Caroline pergi, Alex segera membersihkan kamarnya dan menatanya kembali. Semua pecahan kaca itu dibersihkannya. Setelah selesai, Alex kembali tidur dan terlelap dengan senyum yang mengembang di bibirnya. Belum pernah ia merasakan sesuatu seperti ini sebelumnya.
v 
Pagi telah menjelang, Alex sudah siap dengan pakaian rapi yang ia kenakan. Hari ini Alex akan menemani Caroline menjenguk adiknya.

“Kau sudah siap?” tanya Caroline saat Alex sedang menapaki satu per satu tangga menuju lantai bawah.
“Tentu!” jawab Alex mantap.
“Kalau begitu kita langsung saja berangkat! Kalau terlalu siang nanti susah mencari transportasi!” ucap Caroline.
“Tak perlu menunggu, kan aku punya mobil! Jadi kita bisa lebih cepat sampai!” ucap Alex dan menyunggingkan senyumannya.
“Tapi…!” ucap Caroline terpotong karena Alex sudah menarik tangan Caroline menuju mobilnya.
“Masuklah!” perintah Alex kepada Caroline seraya membukakan pintu mobil untuk Caroline.
“Tapi…!” ucap Caroline ragu-ragu.
“Cepatlah! Atau kamu mau aku marah lagi?” ancam Alex.
“Baiklah,” jawab Caroline mengalah.

Akhirnya Caroline mau masuk mobil dan diikuti Alex. Dengan segera, Alex melajukan mobilnya menuju rumah sakit dimana adik Caroline dirawat. Selama perjalanan Caroline hanya diam dan menatap lurus. Begitu juga dengan Alex, dia hanya fokus menyetir.

Sesampainya di rumah sakit, Alex dan Caroline bergegas menuju kamar rawat Caca.

“Pagi adikku yang manja!” sapa Caroline saat masuk ke kamar rawat Caca.
“Kakak?” ucap Caca terkejut.
“Iya sayang, ini kakak! Dan ini majikan kakak, Tuan Alex!” ucap Caroline memperkenalkan Alex kepada adiknya.
“Selamat pagi, Tuan!” sapa Caca pada Alex.
“Pagi! Bisakah kau tidak memanggilku dengan Tuan? Aku minta kau memanggilku dengan kakak saja!” pinta Alex.
“Baik, Tuan! Eh, maksud aku kakak!” ucap Caca.
“Gitu donk!” ucap Alex seraya membelai lembut rambut Caca.
“Bagaimana kabarmu hari ini, dik? Apa kau merasa lebih baik?” tanya Caroline.
“Tentu! Ini semua berkat kakak! Aku sudah tak tahu lagi bagaimana jadinya jika tak ada kakak! Mungkin aku sudah mati dari dulu dan…” ucap Caca tak melanjutkan perkataannya.
“Dan apa?” tanya Alex.
“Sudahlah, tidak penting! O iya kak, kakak itu pasti punya pacar yang cantik!” jawab Caca dan berusaha mengalihkan pembicaraan.
“Jangan mengalihkan pembicaraan Caca Anastasya!” ancam Caroline.
“Maaf, kak!” ucap Caroline seraya menundukkan kepalanya.
“Caroline! Jangan begitu dengan adik sendiri!” bentak Alex seraya memeluk Caca.
“Terserah! Aku mau cari sarapan dulu! Tolong jaga Caca sebentar!” ucap Caroline datar dan segera keluar untuk mencari sarapan.
“Makasih kak! Kakak sudah belain aku!” ucap Caca dan memeluk Alex.
“Iya, sama-sama!” jawab Alex dan membalas pelukan Caca.

Diciumnya pucuk kepala Caca dengan penuh perasaan. Perlahan-lahan air mata Alex mulai turun membasahi pipi Alex. Dia tak habis pikir bagaimana bisa dia berbuat jahat pada Caroline dan secara tidak langsung, dia juga berbuat jahat pada Caca yang pada kenyataannya tak punya salah apa-apa. Dia sangat merasa bersalah pada Caca.

“Aku janji padamu, aku akan membantumu untuk bisa sembuh!” ucap Alex di dalam hati.
“Kakak? Kakak kenapa menangis?” tanya Caca seraya menyeka air mata Alex.
“Tidak, kakak tidak menangis kok! Kakak bangga sama kamu bisa melalui semua ini sendiri!” jawab Alex.
“Tidak! Aku tidak sendiri! Masih ada kak Caroline yang menemaniku! Walaupun terkadang dia sangat sibuk mencari uang untukku. Tapi itu semua kan demi aku, jadi aku harus mau ditinggal kak Caroline setiap hari!” ucap Caca dan seraya menyungginggkan senyuman di bibirnya.
“Kemana orang tua kalian?” tanya Alex.
“Mereka sudah meninggal, kak! Sudah lama mereka meninggal karena kecelakaan!” jawab Caca seraya menundukkan kepalanya.
“Maafkan kakak ya! Bukan maksud kakak buat…”
“Sudahlah, tidak apa-apa,” potong Caca.
“Sebenarnya kamu sakit apa?” tanya Alex lembut seraya membelai rambut Caca.
“Sirosis, kak! Sebenarnya aku sudah tidak kuat untuk hidup. Tapi kak Caroline selalu menyemangatiku! Dia selalu bilang jika aku sudah tak ada, bagaimana nasib kak Caroline? Kak Caroline pasti sedih dan dia hanya punya aku di dunia ini! Aku hanya takut jika suatu saat Tuhan akan mengambil nyawaku, aku takut kak Caroine sedih dan aku tak mau meninggalkan kak Caroline sendiri!” jawab Caca panjang lebar.

Caca sudah tak kuat lagi menahan air mata yang sudah berkumpul di pelupuk matanya. Dia sangat takut jika dia tak bisa lagi menemani kakaknya lagi kalau Tuhan benar-benar mengambil nyawanya. Hidup ini memang sungguh berat, perlu pengorbanan besar untuk mencapai tujuan.

“Sudah jangan menangis! Kakak tahu suatu saat pasti kamu bisa sembuh dan kamu bisa menemani kakak kamu lagi. Jadi, kak Caroline nggak akan kesepian lagi! Caca harus janji sama kakak kalau Caca harus bisa bertahan! Janji?” ucap Alex dan memberikan jari keingkingnya
“Janji!” jawab Caca dan mengaitkan kelingkingnya dengan kelingking Alex.
“Gitu donk!” ucap Alex seraya mengacak-acak rambut Caca, “Kakak haru spergi sekarang, kamu nggak papa kan sendiri? Pasti sebentar lagi kak Caroline pasti datang!” lanjut Alex.
“Yah! Kok kakak mau pergi sih? Aku kan kesepian disini, nggak ada yang mau menemaniku!” ucap Caca bersedih.
“Jangan sedih gitu donk! Kakak janji pasti kakak kesini lagi! Oke?” ucap Alex.
“Baiklah!” jawab Caca dengan nada lesu.

“Kakak pergi dulu, jaga dirimu baik-baik!” ucap Alex dan mencium kening Caca dan bergegas meninggalkan rumah sakit.
Tak berapa lama kemudian Caroline datang dan membawakan sarapan untuk Caca.
“Loh kak Alex nya mana?” tanya Caroline seraya meletakkan sarapan diatas meja.
“Sudah pergi. Katanya ada urusan!” jawab Caca dengan nada datar.
“Kamu kenapa sih, dek?” tanya Caroline dan mendekati Caca.
“Tidak apa-apa! Sudahlah, aku lapar!” jawab Caca dengan nada sebal.
“Yaudah! Kakak suapin yah?” tanya Caroline seraya mengeluarkan bubur dari dalam tas kresek yang baru dibelinya tadi. Caca hanya mengangguk tanda setuju.

Setelah Caroline selesai menyuapi adiknya, dia segera berpamitan dan pulang ke rumah majikannya.

Selama diperjalanan, hati Craoline merasa tidak enak. Seperti aka nada sesuatu yang buruk yang akan terjadi.

Caroline sudah sampai di depan pintu gerbang rumah majikannya. Betapa terkejutnya dia mendapati banyak orang berdatangan dengan berpakaian hitam-hitam. Tanpa pikir panjang, Caroline langsung berlari kedalam rumah majikannya. Didapatinya seorang ibu yang tengah menangisi jenazah seorang anak laki-laki yang sudah terbujur kaku dengan kain putih yang menutupinya sampai ke leher. Caroline tahu betul jika itu adalah Alex.

Semua ini bagai petir di siang bolong tanpa awan sedikitpun, sangat mengejutkan. Caroline ak habis pikir jika Alex memilih mengambil jalan tengah. Merasa bukan siap-siapa, Caroline hanya bisa menangis dan mengamati dari jauh jenazah Alex.

Merasa sudah tak kuat lagi, Caroline langsung berlari menuju dapur. Tak kuat lagi rasa hatinya melihat seorang yang baru saja tersenyum lalu kini sudah tak bernyawa lagi.

Kini semua orang tengah bersiap-siap untuk pemakaman Alex. Diangkatnya peti mati itu dan dimasukkan kedalam mobil ambulance. Sirine mobil itu mulai meraung-raung bagai seorang anak kecil yang kehilangan lollipopnya.

Kini sudah tak ada lagi sosok Alex yang membuat Caroline tambah tegar dalam menghadapi cobaan hidup yang silih berganti. Tidak ada lagi yang akan menemani dia menjenguk Caca walaupun dia hanya menjenguk Caca satu kali dan itulah terakhir kalinya dia menjenguk Caca.

Kesedihan begitu dirasakan Caroline hingga dia merasa malam ini terasa panjang. Pagi menjelang dengan malu-malunya membuatnya sedikit lama untuk muncul dan menerangi hari yang sesungguhnya sangat kelam. Dengan langkah malasnya, Caroline bangkit menuju kamar mandi dan membersihkan badannya. Setelah selesai, dia langsung menuju dapur untuk mengerjakan yang harus dukerjakan.

Pagi ini begitu sepi tanpa kehadiran Alex. Semuanya terasa hampa bak soup tanpa garam yang rasanya hambar. Walaupun begitu dia harus tetap semangat untuk adik tercintanya itu.
Setelah semuanya selesai, Caroline bergegas menuju rumah sakit. Sesampainya dirumah sakit, betapa terkejutnya dia tak mendapati adiknya di ruang rawatnya. Dengan tergesa-gesa, Caroline mendatangi meja resepsionis dan menanyakan keberadaan adiknya.

“Sus, dimana pasien yang dirawat di kamar nomor 33?” tanya Caroline langsung.
“Oh, pasien sudah dipindahkan di kamar nomor 1! Dan pasien sudah selesai dioperasai transplantasi hati dan sekarang sudah membaik!” jawab suster itu.
“Dioperasi?” ucap Caroline tak percaya.
“Iya, pasien sudah mendapatkan donor hati dari seseorang yang meninggal kemarin!”
“Siapa orang itu sus?”
“Maaf kami tidak bisa member tahu soal siapa pendonor itu.”
“Baiklah, terima kasih sus.” Ucap Caroline dan pergi berlalu menuju kamar inap nomor 1. Kamar yang diperuntukkan bagi mereka yang mempunyai kantong yang tebal.
Perlahan namun pasti, Caroline membuka pintu kamar inap itu.

“Tuan, Nyonya?” ucap Caroline tidak percaya mendapati majikannya bersama adiknya.
“Caroline, kesini nak, om dan tante mau bicara sama kamu!” ucap sang majikan perempuan kepada Caroline.
“Om dan tante mau berterima kasih kepada kamu dan adikmu karena kalian sudah menyadarkan om dan tante bahwa pekerjaan itu tidaklah penting dibandingkan dengan anak sendiri.” Giliran sang majikan laki-laki yang berbicara.
“Alex sungguh berhati besar, walaupun kami kecewa dan juga merasa sangat sedih ketika mengetahui Alex memilih jalan tengah sebagai penyelesaiannya, tapi kami bangga, dia mau mendonorkan mata, hati, jantung, dan ginjalnya pada orang lain!” jelas sang nyonya.
“Jadi yang mendonorkan hati untuk Caca itu Alex nyonya?” tanya Caroline tidak percaya dan hanya dibalas anggukan sang majikan.
“Alex meminta kepada kami agar kami membiayai semua biaya rumah sakit Caca dan dia meminta kami untuk mengangkat kalian menjadi anak kami!” ucap nyonya itu.
“Jadi, kami mohon kalian tidak meolak karena ini permintaan terakhir Alex.”
“Iya nyonya!” jawab Caroline.

Kini perlahan-lahan daun pohon deciduous telah berguguran dari pohonnya menghiasi pergantian musim gugur ke musim dingin. Daun terkahir pohon deciduous telah gugur dan digantikan dengan turunnya kristal-kristal es di seluruh kota.

Inilah akhir dari perjuangan seorang kakak untuk adiknya dan akan digantikan oleh perjuangan orang tua tiri untuk anak tiri mereka yang mereka sayangi. Walaupun begitu tugas sang kakak belum selesai. Ini hanya sebuah permulaan pada akhiran. Semuanya akan kembali berputar seperti roda kehidupan yang tak pernah berhenti berputar.

***









0 komentar:

Best viewed on firefox 5+

Blogger templates

Blogger news

Copyright © Design by Dadang Herdiana